Sejak
revolusi industry dimulai di Inggris, kebutuhan akan energy semakin meningkat
secara drastis. Saat ini, sebagian besar kebutuhan energy dipasok dari bahan
bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Namun,
permasalahannya adalah bahwa sumber bahan bakar fosil merupakan sumberdaya alam
yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable
resources). Kemudian peningkatan kebutuhan semakin meningkat secara drastis
sehingga energy yang dihasilkan masih kurang cukup. Selain daripada itu, bahan
bakar fosil mengakibatkan polusi.
Walaupun
sumber daya energy baru terbarukan (EBT) memiliki potensi yang sangat besar dan
menjanjikan, tetapi investasi dibidang ini sangat besar dan jumlah energy yang
dihasilkan tidak sebesar energy fosil maupun nuklir. Di AS, nuklir menyumbang
21% kebutuhan energy, sementara batubara 41%, gas 24%, EBT 12% (70% air), dan
minyak bumi 1%. Sehingga pengembangan energy nuklir masih dilakukan di AS,
untuk menggantikan batu bara.
Terdapat
miskonsepsi terkait system kerja energy nuklir. Nuklir terbagi atas dua system kerja,
yaitu fisi (pembelahan) dan fusi (penggabungan). Pertama, nuklir memerlukan
bahan bakar, Uranium, Plutonium, Thorium, dll. Kemudian bahan bakar tersebut
diperkaya “enrichment” dan dibentuk
kedalam bentuk pellet kemudian masukkan kedalam batang bahan bakar “Rods”. Untuk
reactor PWR (Pressurized Water Reactor)
Dengan reaksi fisi (chain reaction) di
dalam reactor nuklir menhasilkan panas. Panas yang dihasilkan digunakan untuk
menguapkan air, uap air kemudian menggerakkan turbin yang menghasilkan listrik.
Uap air tersebut kemudian didinginkan lagi melakui kondenser dan kembali
mengulang siklus yang sama lagi.
Namun,
tidak dapat dipungkiri, PLTN menghasilakan limbah yang berbahaya bagi
lingkungan. Namun, limbah tersebut harus dijadikan sebagai tantagan yang
menggugah kemampuan, bukan ancaman bagi lingkungan. Menurut IAEA, terdapat enam
jenis limbah nuklir, tetapi di Indonesia, BATAN hanya mengklasifikasikan limbah
nuklir kedalam tiga kategori. IAEA secara berkala melakukan pengawasan terhadap
fasilita-fasilitas nuklir diseluruh dunia, kecuali Israel. Limbah nuklir tidak
dapat serta-merta dibuang ke lingkungan. Harus ada system penanganan limbah dan
merupakan salah satu persyaratan utama dalam pembangunan fasilitas nuklir. limbah
nuklir harus melewati tahap pengolahan yang sangat ketat sebelum disimpan.
Limbah nuklir merupakan zat radioaktif yang meluruh dengan waktu, artinya sifat
aktivitas limbah nuklir akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu dan
potensi bahaya radiasinya berkurang secara eksponensial terhadap waktu. Artinya
tingkat radiasinya akan turun setengah kalinya dalam setiap periode waktu tertentu.
Jangka waktu paruh limbah nuklir bervariasi, mulai dari yang hilang dalam
hitungan hari, hingga yang berjangka wakti puluhan ribu tahun. Secara garis
besar, pengolahan limbah radioaktif tiga prinsip, yaitu prinsip reduksi volume,
pengolahan bentuk fisik dan kimia, dan penyimpanan
Iodin-131
|
8
hari
|
8 hari
|
8 hari
|
8 hari
|
8 hari
|
Plutonium-239
|
24.000 tahun
|
24.000 tahun
|
24.000 tahun
|
24.000 tahun
|
24.000 tahun
|
Jika
dibandingkan, penggunaan PLTN lebih efisien daripada pembangkit listrik tenaga
fosil. PLTU Batubara dengan daya 1000MWe dalam satu tahun memerlukan tiga juta
ton batubara. Dari jumlah tersebut akan terbentuk 7 juta ton limbah CO2, 20.000
ton SO2, 4.000 ton NO2, 300.000 ton debu, dan 400 ton logam berat (Hg, As, Pb,
dan Cd). Dalam setahun, PLTN dengan daya
1000 MWe (tingkat pengayaan 4%) akan menghasilkan LAT dalam bentuk bahan bakar
bekas sebanyak 30 ton, LAS terolah sekitar 300 ton, dan LAR terolah 450 ton.
Sekilas, melihat kuantitas limbah tersebut sangat besar. Namun, limbah nuklir
sangat aman karena mendapatkan penanganan dengan standar keamanan yang sangat
tinggi.
Jadi,
kombinasi antara energy nuklir dan energy baru terbarukan merupakan kombinasi
yang sangat baik bagi pemenuhan energy di masa depan yang handal dan ramah
lingkungan.
Sumber
http://www.batan.go.id
http://esdm.go.id