“Selamat pagi Bapa, mau belanja dulu” teriak seorang
ibu-ibu berjalan ke wilayah Indonesia dari Timor Leste kepada anggota TNI
penjaga pintu perbatasan di Atambua setelah menunjukkan Surat Jalan Laksana
Paspor miliknya untuk diperiksa. Suasana sibuk memang selalu terjadi di
Atambua, perbatasan Indonesia dengan Timor Timur atau Timor Leste yang merupakan
sebuah negara kecil terletak dekat Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sejarah
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Timor Timur, karena Timor Timur pernah
menjadi bagian dari NKRI. Pernah menjadi salah satu provinsi di Indonesia ke-27
dengan nama Provinsi Timor Timur. Dibalik lepasnya Timor Timur dari pangkuan
Ibu Pertiwi ada sekelumit kisah perjuangan para ksatria bangsa pembela tanah
air dan para pejuang intergrasi yang memperjuangkan eksitensi Timor Timur
dibawah kibaran Sang Merah Putih.
Sejarah
Pada 1975, Portugal meninggalkan Timor Timur, pada
saat itu terjadi pergolakan didalam pemerintahan Portugal dan perang saudara di
Timor Timur. Percaturan politik Portugal saat itu didominasi oleh golongan
sosialis-komunis yang menginginkan perubahan dalam sistem pemerintahan,
termasuk dalam penerapan sistem dekolonisasi. Di tanah Timor Timur (waktu itu
Timor Portugis) terdapat beberapa partai yang memiliki perbedaan pemikiran dan
tujuan.
- Uniao Democratica de Timorense (UDT). Diketuai oleh F.X. Lopez da Cruz, UDT merujuk pada resolusi PBB No. 1541 untuk tetap berada dibawan naungan Portugal untuk dapat berdiri sendiri saat sudah siap.
- Associao Social Democratica Timorense (ASDT) kemudian berganti nama menjadi Frente Revolucionaria de Timor Independente (FRETILIN) dibentuk pada 20 Mei 1974 dengan tokoh-tokoh seperti Nicolau Lobato, F.X. do Amaral, Xanana Gusmao. Pada mulanya Fretilin berkiblat ke Indonesia tetapi kemudian menjadi Komunis-maois.
- Associacao Popular Democratica de Timor (APODETI) dibentuk pada tanggal 27 Mei 1974 dengan tokoh-tokoh terkemuka seperti Arnaldo dos Reis Araujo, Jose Osorio Soares, dan Guilherme Maria Goncalves menyetakan integrasi dengan NKRI dengan merujuk pada resolusi PBB No. 1541.
- Kibur Oan Timor Aswain (KOTA) memperjuangkan pemerintahan yang berbentuk kerajaan atau monarki.
- Trabhalista diketuai oleh Domingos Pereira dan A. Abrao, merupakan partai buruh yang ingin berasosiasi dengan Australia yang saat itu dikuasai oleh partai buruh.
Suhu politik di Tomor Portugis semakin memanas setelah
pembentukan partai-partai tersebut. Dikemudian hari, Fretilin muncul sebagai
partai terkuat sebagai akibat coup d’etat
yang dilakukan oleh golongan militer yang berhaluan komunis terjadi di
Portugal. Situasi semakin memburuk dengan sikap fretilin yang memboikot
referendum tahun 1975 di Macau.
Perang saudara Timor Timur pecah kala UDT melakukan coup d’etat dipimpin oleh Joao Carascalao. Namun, dengan dukungan
dari militer, fretilin melaukan counter
coup d’etat dan mulai melakukan gerakan untuk melenyapkan lawan politiknya
yaitu UDT, KOTA, APODETI, dan Trabhalista. Dalam keadaan terdesak oleh Fretilin,
keempat partai mendeklarasikan kemerdekaan dengan bergabung dengan Republik
Indonesia melalui Deklarasi Balibo pada 30 November 1975 sebagai bentuk reaksi
proklamasi sepihak oleh pihak fretilin.
Para
pejuang integrasi
Dalam masa-masa yang genting pasca Deklarasi Balibo timbullah
semangat integrasi dari masyarakat Timor Leste, rakyat bahu membahu dengan
aparat untuk memulihkan keamanan di Timor Timur, pemerintah pun menganggarkan
dana yang tidak sedikit untuk pembangunan wilayah Timor Timur. Semangat integrasi
rakyat dan kepercayaan rakyat terhadap RI, semakin menggebu, laskar-laskar
rakyat pendukung Merah Putih menjamur diseantero provinsi.
Semangat masyarakat Timor Timur berintegrasi dengan RI
sangat menggebu, selain pendukung dari empat partai, Pemerintah menampung
kebulatan tekad masyarakat pro-integrasi dengan mengangkat dan memperbolehkan
rakyat Timor Timur mendaftar menjadi pegawai negri maupun tentara serta
memberikan hak dan kewajiban yang sama seperti yang dimiliki WNI dimanapun. Salah
satu langkah permerintah melalui TNI-AD membentuk satuan organik dibawah
komando Kodam IX Udayana yaitu Batalyon Infanteri 744 dan 745 yang berisi
putra-putra daerah asli Timor untuk berjuang mempertahankan integrasi Timor
Timur. Membentuk kesatuan sipil terlatih untuk kebutuhan keamanan dari
gerombolah pengacau keamanan (GPK) seperti Perlawanan rakyat (wanra) dan
pamswakarsa.
Pada 1999 Presiden B.J. Habibie membuka jalan pelaksanakan
referendum untuk penyelesaian kasus Timor Timur melalui jalan damai dan untuk
menghindarkan Indonesia dari sanksi Internasional. Referendum akan diawasi oleh
dunia Internasional melalui PBB. Pengumuman hasil referendum yang dilakukan pda
4 september 1999 menetapkan kemerdekaan Timor Timur dan mengubur Deklarasi
Balibo 1975. Hasil referendum tersebut mengakibatkan gerakan sukarela dan
spontan dari masyarakat pro integrasi yang tersebar di seluruh wilayah Timor
Timur yang melahirkan barisan militant prointegrasi seperti Besi Merh Putih
(BMP), Pasukan Halilintar, Jati Merah Putih, Kelompok Aitarak, dan lainnya.
Pada akhirnya kelompok-kelompok tersebut melebur dalam organisasi massa bernama
Pasukan Pejuang Integrasi (PPI). Anggota-anggota kompi perlawanan rakyat
(wanra) dan pamswakarsa yang dipersenjatai secara legal formal, diam-diam
bergabung kedalam PPI yang kemudian disebut Barat sebagai “milisi”.
Pada masa pasca jajak pendapat, perjuangan bersenjata
tidak lagi relevan seiring dengan hasil referendum yang sudah diumumkan. Untuk
memelihara iklim perdamaian di wilayah Timor Timur pemerintah melucuti
persenjataan PPI dan prajurit TNI putra Timor. Penyerahan senjata tersebut
disaksikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri di Atambua, NTT dari
anggota PPI ke pemerintah RI. Untuk memenuhi aspirasi pendukung integrasi, maka
dibentuk suatu organisasi untuk menampung pergerakan pendukung integrasi dengan
membentuk organisasi bernama Uni Timor Aswain (UNTAS). TAP MPR No. V/MPR/1999
tentang hak kewarganegaraan pendukung integrasi adalah nafas bagi anggota UNTAS
yang bersasal dari Timor Timur yang kini sudah merdeka untuk tetap melanjutkan
perjuangan. Kegiatan pertama yang dilakukan UNTAS yaitu melakukan Kongres I
Biti Bot Timoris pada 26-29 Januari 2000, di Kupang, NTT, untuk mendiskusikan
garis besar perjuangan pro-integrasi di masa depan. Dimana kongres tersebut
menghasilkan pandangan dimana UNTAS menolah hasil referendum tahun 1999 karena
terindikasi terdapat banyak kecurangan seperti pengangkatan local staff UNAMET yang hempir
seluruhnya pro-kemerdekaan dan penempatan tempat pemungutan suara (TPS) yang
kurang representatif. Selain itu Organisasi UNTAS saat ini masih aktif dalam
perjuangnnya di dunia internasional dalam memperjuangkan aspirasinya.
Kesimpulan
Lepasnya Timor Timur bukan merupakan kesalahan
siapa-siapa, tidak etis rasanya menyalahkan orang lain sementara diri kita
sendiri idak melakukan apa-apa. Lepasnya Timor Timur merupakan suatu pelajaran
berharga bagi Indonesia mengenai resolosi konflik kedepannya, contoh konkretnya
dapat dilihat pada perjanjian damai antara pemerintah RI antara Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) melalui perjanjian Helsinski. Lepasnya Timor Timur juga merupakan
pelajaran bagi Indonesia mengenai perntingnya persatuan dan kesatuan, sebab
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, terdiri atas berbagai macam suku,
bangsa, agama, bahasa, dan budaya yang menyebabkan Indonesia memiliki tingkat
kerawanan yang sangat tinggi untuk pecah. Untuk itu penting untuk menanamkan
rasa persatuan dan kesatuan bagi seluruh rakyat terutama para generasi muda
sebagai penerus atau pewaris Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesadaran dari
masyarakat menjadi salah satu aspek penting, sebab dengan kesadaran bahwa aku,
saya, beta, anda, kamu, kowe, kon, abdi, ci, awakmu, dan masih banyak lagi, merupakan satu
kesatuan yaitu Bangsa Indonesia. Pembaca yang budiman, semoga tulisan ini dapat
semakin menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Refrensi
Araujo, Basilio Diaz: Timor Timur Gagalnya Sebuah
Diplomasi: Depok. Indie Publishing.2014
Syahnakri, Kiki, Letjen TNI (Purn.): Timor Timur the
Untold Story: Jakarta. Kompas Media. 2013
Subroto, Hendro: Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang
Prajurit Para Komando: Jakarta. Kompas Media. 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar